Menjaga Pandangan dan Kemaluan Dalam Islam

Salah satu tanda kebesaran Allah SWT adalah menciptakan makhluk hidup yang salah satu cirinya adalah tumbuh dan berkembang, Sejauh mana Islam mengatur pandangan terhadap lawan jenis? Simak artikel berikut!

Da'i Ambassador

Salah satu tanda kebesaran Allah SWT adalah menciptakan makhluk hidup yang salah satu cirinya adalah tumbuh dan berkembang. Makhluk hidup yang paling utama adalah manusia. Bukan hanya tumbuh berkembang sejak dilahirkan, manusia juga dikaruniai akal dan terbebani hukum (mukallaf). 

Allah SWT mengingatkan kita bahwa dulunya kita diciptakan dalam keadaan lemah, kemudian menjadi kuat dan kembali lemah kembali karena menua. Renungkan firman Allah berikut:

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ وَهُوَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْقَدِيرُ.

“Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Q.S. Ar-Rum: 54).

Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut:[1]

“Allah SWT mengingatkan (manusia) akan fase-fase yang telah dilaluinya dalam penciptaannya, dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Asal mulanya manusia itu berasal dari tanah liat, kemudian dari air mani, kemudian menjadi 'alaqah, kemudian menjadi segumpal daging, kemudian menjadi tulang yang dilapisi dengan daging, lalu ditiupkan roh ke dalam tubuhnya.

Setelah itu ia dilahirkan dari perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil, dan tidak berkekuatan. Kemudian menjadi besar sedikit demi sedikit hingga menjadi anak, setelah itu berusia balig dan masa puber, lalu menjadi pemuda. Inilah yang dimaksud dengan keadaan kuat sesudah lemah.

Kemudian mulailah berkurang dan menua, lalu menjadi manusia yang lanjut usia dan memasuki usia pikun; dan inilah yang dimaksud keadaan lemah sesudah kuat. Di fase ini seseorang mulai lemah keinginannya, gerak, dan kekuatannya; rambutnya putih beruban, sifat-sifat lahiriah dan batinnya berubah pula.”

Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana. Di saat usia balita sampai menjelang remaja, kita tidak dibebani hukum syariat karena belum mencapai balig. Di saat itulah mata dan kemaluan kita belum begitu terjaga. Mungkin kita masih ingat betapa asyiknya kita bertelanjang ria saat mandi hujan? 

Barulah di saat balig, kita diwajibkan menjaga pandangan dan kemaluan. Apa hikmahnya? Di saat balig, syahwat sudah terbentuk. Pandangan yang tidak dijaga, tentu menimbulkan gejolak syahwat dan sangat berpotensi terjadi perzinaan jika tidak bisa menjaga kemaluan, naudzu'billah.

Menjaga pandangan dan kemaluan adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah. Firman Allah SWT:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ....

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya… (Q.S. An-Nur: 30-31).

Begitu juga pesan Rasulullah SAW melalui hadisnya:

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي.[2]

Dari Jarir bin Abdullah dia berkata; "Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai penglihatan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan penglihatanku." (HR. Muslim).

Mengenai hadis di atas, Al-Imam Nawawi berkomentar:

‏‏ ومعنى " نظر الفجأة " : أن يقع بصره على الأجنبية من غير قصد ، فلا إثم عليه في أول ذلك ، ويجب عليه أن يصرف بصره في الحال ، فإن صرف في الحال فلا إثم عليه ، وإن استدام النظر أثم ؛ لهذا الحديث ، فإنه صلى الله عليه وسلم أمره بأن يصرف بصره مع قوله تعالى : { قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم } ، قال القاضي : قال العلماء : وفي هذا حجة أنه لا يجب على المرأة أن تستر وجهها في طريقها ، وإنما ذلك سنة مستحبة لها ، ويجب على الرجال غض البصر عنها في جميع الأحوال إلا لغرض صحيح شرعي ، وهو حالة الشهادة والمداواة ، وإرادة خطبتها ، أو شراء الجارية ، أو المعاملة بالبيع والشراء وغيرهما ، ونحو ذلك ، وإنما يباح في جميع هذا قدر الحاجة دون ما زاد ، والله أعلم .

Makna dari memandang spontan adalah ketika seseorang tanpa sengaja melihat wanita asing (yang bukan mahram), maka tidak ada dosa baginya pada saat itu. Namun, dia harus segera mengalihkan pandangannya. Jika dia segera mengalihkan pandangannya, maka tidak ada dosa baginya. Jika dia terus menatap, maka dia berdosa, sesuai dengan hadis ini. Rasulullah SAW memerintahkan untuk mengalihkan pandangan, dan juga sesuai dengan firman Allah dalam Surah An-Nur: "Katakanlah kepada orang-orang yang beriman: 'Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.'" (QS. An-Nur: 30). Menurut al-Qadhi, para ulama berpendapat bahwa ini menjadi bukti bahwa seorang wanita tidak diwajibkan untuk menutupi wajahnya di jalan, hal tersebut hanya merupakan sunah yang dianjurkan bagi wanita. Sedangkan bagi pria, mereka wajib menundukkan pandangan dari wanita dalam segala situasi, kecuali untuk tujuan yang sah secara syar’i, seperti dalam hal kesaksian, pengobatan, niat melamar, membeli budak wanita, atau dalam transaksi jual beli dan semacamnya. Pada semua situasi ini, yang dibolehkan hanya sebatas kebutuhan saja, tanpa berlebihan. Wallahu a'lam.

Lalu bagaimana Islam mengatur pandangan sesuai hukum? Berikut kami sarikan dari kitab Fath Al-Qarib sebagai berikut:[3]

  1. Pandangan laki-laki kepada wanita ajnabi haram hukumnya jika tidak ada keperluan yang dibenarkan.
  2. Pandangan suami kepada istrinya, atau sebaliknya. Dibolehkan memandang seluruh tubuhnya. Adapun memandang kemaluannya adalah makruh.
  3. Pandangan seorang laki-laki pada wanita-wanita mahramnya, baik karena sebab nasab, persusuan maupun pernikahan seperti orang tua kandung, adik kandung dsb. Dibolehkan memandang dari atas pusar dan dibawah lutut. Seperti melihat betis, siku, leher atau rambut.
  4. Memandang wanita yang ingin dilamar (dinikahi), yaitu wajah dan kedua telapak tangan.
  5. Untuk pengobatan, dokter pria boleh memandang bagian tubuh apa saja dari pasien wanita yang akan diobati, termasuk kemaluan. Pasien wanita tersebut wajib ditemani oleh mahramnya. Pengobatan seperti ini dibolehkan jika tidak ada dokter wanita yang bertugas.
  6. Untuk keperluan dalam kasus saksi zina, laki-laki diperbolehkan melihat kemaluan wanita atau dalam proses persalinan yang membutuhkan pertolongan laki-laki. Adapun dalam hal muamalah seperti transaksi jual beli atau yang lainnya, bagian tubuh wanita yang boleh dilihat hanyalah wajah saja.
  7. Untuk budak wanita yang akan dibeli, maka dibolehkan melihat bagian tubuh dan rambutnya.


Agar tidak lupa, aurat pria adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut. Sedangkan untuk wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan.


Hal yang perlu diperhatikan:

  1. Anak angkat yang sudah balig berbeda dengan anak kandung. Maka memandang ibu angkat atau saudara perempuan angkat, bibi angkat atau nenek angkat dihukumi sebagaimana memandang wanita ajnabi atau non-mahram, yaitu hanya boleh memandang wajah dan kedua telapak tangan.
  2. Begitu juga dengan saudara sepupu, saudara ipar atau istri dari paman. Mereka semua adalah wanita ajnabi atau non-mahram, batasan pandangannya sama dengan anak angkat.


Wallahu A’lam.

Foto : Freepik

 ----------

[1] Ibnu Katsir, Ismail Ibn Umar, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Dar Ibn Hazm, Beirut, Cetakan Pertama, 1420 H/2000 M, Hal. 1.458.
[2] Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Dar Thayba, Riyadh, Cetakan Pertama, 1427 H/2006 M, Hal. 1.033.
[3] Lihat Fath Al-Qarib al-Mujib, Muhammad ibn Qasim Al-Ghazzi, Toha Putra , Semarang, T.T. Hal. 43-44.

Bagikan Konten Melalui :